Sekolah kita
Makalah Etos Kerja
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi
tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam
memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja ini, Rasulullah
SAW bersabda:
اعمل للدنيا كأنك تعيش ابدا واعمل للأخرة كأنك تموت غادا
“Bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”[1][1]
Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan
di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia
dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah.
Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap
dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini,
kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih,
setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang
tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan
as-Sunnah.
B. Pengertian
Etos Kerja
Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal
dari bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau
menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya
arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Pada
Webster's New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai
kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari
individu atau kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah
tentang etika.
Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah
respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap
kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai
sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk
bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila
pengertian etos kerja re-definisikan, etos kerja adalah respon yang unik dari
seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan; respon atau
tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi
kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat.
Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang
diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat.
Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa
tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika; ini merupakan
nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja
seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan
nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain.
Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih
ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu
nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak.
Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis
tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi
karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Muncullah etos
kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja Korea
Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya. Bahkan prinsip yang sama
bisa ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda sekalipun pengertian etos
kerja relatif sama. Sebut saja misalnya berdisplin, bekerja keras, berhemat,
dan menabung; nilai-nilai ini ditemukan dalam etos kerja Korea Selatan dan etos
kerja Jerman atau etos kerja Barat.
C. Ruang Lingkup
Agar pembahasan makalah ini lebih terfokus,
terarah, dan tidak melebar penulis akan menguraikan beberapa ruang lingkup
pembahasannya, yaitu sebagai berikut ini:
a. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
b. Pengertian
Kerja
c. Pengertian
Kerja Menurut Perspektif Al-Qur’an
d. Etika Kerja
dalam Islam
e. Manifestasi
Kerja Untuk Mencari Ridha Allah
f. Karakteristik pekerjaan mendatang
g.
Komponen Dasar Etos Kerja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti
sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai
yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper
mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik
buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang
berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.[2][2] Etos kerja seorang
muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil
keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim
berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta
untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan
janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke
jalan yang lurus.[3][3]
B. Pengertian Kerja
` Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu.[4][4] Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan
bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan
seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti
dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga
dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah
aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
(jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya
dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti
pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
C. Pengertian Kerja
Menurut Perspektif Al-Qur’an
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak
membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang
kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah
kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan
di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja
seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja)
di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal (perbuatan) kita temui
sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu (mereka telah
mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan
an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun dan Ya’malun
seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum,
a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun,
‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan
al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang
mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi
ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah
berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan
bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman
seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan
pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat
baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT
menyatakan :
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚö F{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila
Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(Al-Jumu’ah: 10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas,
dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Adapun
pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia
untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai
dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja dalam lingkup
pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik bekerja
harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini didasarkan pada
realitas yang ada di negara-negara komunis maupun kapitalis yang
mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi
semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan
konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya
perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian
sempit ini sama sekali tidak dalam Islam, konsep kerja yang diberikan Islam
memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki penyempitan pengertian
(dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis
tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan
(upah), dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji
tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini
telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad,
dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai
lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran.
Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam
jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara
legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan
pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang
menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang
keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks
hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi
SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.
(HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan :
“Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut
menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang
dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
D. Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon
(tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan
tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi
keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan ini
dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti
oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan. Penggunaan
istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi
menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada
kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu
kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat
terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda
bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh
seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai
suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman
Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
$yg"r'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y0|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3 sF{$#ur É9©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöqu9ø9$#ur ÌÅzFy$# (
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian…”[5][5]
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan
pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis
pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan
iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja
mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya
kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa.
Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau
imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah
SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi,
jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen
terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping
itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja
menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika
kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan
menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah
yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR
Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam
seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
$yg"r'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=à2 `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB öNä3»oYø%y u (#rãä3ô©$#ur ¬! bÎ) óOçFZà2 çn$Î) crß0ç7÷ès? ÇÊÐËÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.”[6][6]
1. Dilarang memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan Allah.
3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk
memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian.
Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta
bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi
E. Manifestasi Kerja Untuk Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung
karena semua pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana
menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam kegiatan harian, mingguan dan
bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha
Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang
kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan
kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.
Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan,
dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat
seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi
pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir
hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan.
Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan
mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada
dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti
bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tak
lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih seksama lagi, ia
akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam
khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap
manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar
dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar disamping kata
Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah
kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa
melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan
desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin
atau secara optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang
menuturkan sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena
itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu
menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang
menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.”[7][7]
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis
itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan
melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman
pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat efisiensi dan daya guna yang
setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti
tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu
yang diciptakan-Nya.[8][8] Selanjutnya
Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar
manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah
kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[9][9]
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an
jelaslah bahwa setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional.
Dengan demikian ia melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan
dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang
diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik ini
atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia
Ilahi Rabbi.
F. Karakteristik Pekerjaan Mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa
bentuk pekerjaan mendatang tak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al
Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan
dan menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera
kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an sudah
memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk
kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia
memberi contoh mengetik. Dulua dengan memencet tuts orang bisa membuat kalimat,
tetapi sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts harus dimiliki
serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy,
Michael Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin
Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini.
Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak lagi terletak pada properti
atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya manusia. Dan inti dari
sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah
mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat
pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan
kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan
istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan
dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat
Islam itu harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar
dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian
dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
G.
Komponen Dasar Etos Kerja
a. Iman dan
Taqwa
Yang dinamakan iman
adalah meyakini di dalam hati, menyatakannya dengan lesan, dan malaksanakannya
dengan perbuatan.[10][10] Kata taqwa (al-taqwa) dan kata-kata kerja serta
kata-kata benda yang dikaitkan dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah
Yusuf Ali pertama, takut kepada Allah, merupakan awal dari ke’arifan. Kedua,
menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan. Ketiga,
ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[11][11]
Setiap pribadi
muslim harus menyakini bahwa nilai iman dan taqwa akan terasa kelezatannya
apabila secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal sholeh atau tindakan
kreatif dan prestatif. Iman dan taqwa merupakan energi batin yang memberi
cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai bagian dari umat yang
terbaik.
Dalam Al-qur’an
banyak memuat ayat yang manganjurkan taqwa dalam setiap perkara dan pekerjaan.
Ayat-ayat tentang keimanan selalu diikuti dengan ayat-ayat kerja, demikian pula
sebaliknya. Ayat seperti “orang-orang yang beriman” diikuti dengan ayat “dan
mereka yang beramal sholeh”. Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang
mukmin dengan nada panggilan seperti “Wahai orang-orang yang beriman”, maka
biasanya diikuti oleh ayat yang berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan,
di antaranya, “keluarkanlah sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan
kepada kamu”, “janganlah kamu ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu
keluarkan) dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah”.[12][12]
Keterkaitan
ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama etos
kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya.
Memisahkan kerja dengan iman berarti mengucilkan Islam dari aspek kehidupan dan
membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemaslahatannya sendiri, bukan dalam
kaitannya perkembangan individu, kepatuhan dengan Allah, serta pengembangan
umat manusia.
Perlu kiranya
dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etos yang harus diikutsertakan di
dalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi
pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhir dari
pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar mencari upah dan
imbalan, karena tujuan utama kerja adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT
sekaligus berkhidmat kepada umat. Prinsip inilah yang terutama dipegang teguh
oleh umat Islam, sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental
sepanjang zaman.
Etos kerja yang
disertai dengan ketaqwaan merupakan tuntunan Islam. Hal ini telah dipratikkan
oleh umat Islam pada masa yang gemilang, ketika Islam mampu mendominasi dunia
kerja dan mempengaruhi hati manusia sekaligus. Sehingga seluruh aktifitas umat
Islam tidak lepas dari nilai-nilai keimanan.[13][13]
2. Niat
(komitmen)
Pembahasan mengenai
pandangan Islam tentang etos kerja barang kali dapat dimulai dengan usaha
menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai
setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya,
jika tujuannya tinggi (tujuan mencari ridha Allah) maka iapun akan mendapatkan
nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (hanya bertujuan memperoleh
simpati sesama manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai
kerjanya tersebut.[14][14]
Tinggi rendahnya
nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan dengan tinggi rendah nilai
komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan
dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai (value system)
yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai
sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan
sunggguh-sungguh.
Telah dikatakan
bahwa niat atau komitmen ini merupakan suatu keputusan dan pilihan pribadi, dan
menunjukkan keterikatan kita kepada nilai-nilai moral serta spiritual dalam
pekerjaan kita. Karena nilai-nilai moral dan spiritual itu bersumber dari Allah
dengan ridha atau perkenan-Nya, maka secara keagamaan semua pekerjaan dilakukan
dengan tujuan memperoleh ridho dan perkenan Allah itu. Oleh karena itu,
sebaiknya diberi penegasan bahwa pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur
yang terpusat pada usaha mencapai ridho Allah berdasarkan iman kepadanya itu
adalah bagaikan fartamurgana. Yakni, tidak mempunyai nilai-nilai atau makna
yang suptansial apa-apa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat
menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT. Etika kerja dalam Islam
yang perlu diperhatikan adalah:
1. Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh
keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2. Berusaha
dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
3. Tidak
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua
harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
4. Tidak
melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman
keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme
dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahan,
Jakarta: Depag RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam
Islam, Jakarta: Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup
Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
http://www.perkuliahan.com/komponen-dasar-etos-kerja-dalam
islam/#ixzzlqwakR
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja,
Jakarta : Gema Insani.
Poerdarminto WJS, 1987, Kamus Umum Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
Shihab, Quraish 1998, Wawasan al-Qur’an,
Jakarta : Mizan.
Sunarto, Ahmad, dkk, 1993, Tarjamah Shahih Bukhari III, Semarang:
CVAssyifa.
Syafi’I Wagino, Asnan, 1995, Menabur
Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan
Harahab, Syahrin,
1996, Islam Dinamis, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
CASINOS LOS ANGELES, CA | 87729 | Casino - JTM Hub
ReplyDelete7777 Casino Resort 포천 출장안마 Blvd, Suite 104, Orange 제주 출장마사지 County, CA, 97729, United States. See Casino. More Info. 평택 출장안마 Hours, Accepts Credit Cards, 김포 출장안마 Accepts 순천 출장샵 Rating: 4 · 7,742 reviews