Pertentangan Agama dan Sains
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara
itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada
keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua
penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan
pesan-pesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu
pengetahuan dan agama.
Kaum
agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik, jangan
sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang
diharakan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta
kemajuan teknologi.
Pada sisi
lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah dapat menjawab semua
hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu, hal yang membuat sains begitu
berharga adalah karena sains membuat kita belajar tentang diri kita sendiri
sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kerendahan hati
untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun implementasi teknologi
dan ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta.
Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan (Rakhmat. 2003).
Perkembangan
sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan
rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap
rasionalisme. Dengan pandangan rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara argumentative (Suseno. 1992)
Cirri paling
utama dalam rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia, segala
seuatu harus dapat dimengerti secara rasional. Sebuah pernyataan hanyab boleh
diterima sebagai sebuah kebenaran apabila dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dalam sisi lainnya, tradisi, berbagai bentuk wewenang tradisional,
dan dogma, adalah sesuatu yang tidak rasional bagi masyarakat modern.
Perkembangan
selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu
sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan
asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini,
sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan
‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut
sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat
diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bias terjangkau
oleh indra manusia.
Sedangkan
agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh
indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan
harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan menjadi rujukan bagi
kebenaran-kebenaran yang lain.
Sains dan
agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma, pengklasifikasian
secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu trend tersendiri di
masyarakat zaman renaisan dan trend ini menjadi dasar yang kuat hingga pada
perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri
dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di
antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik
menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
1.2. Rumusan
Masalah
Pembahasan
mengenai ilmu pengetahuan dan agama tidak terlepas dari masalah dasar dari
perdebatan, yaitu persoalan “kebenaran” dan persoalan “etika” dalam kehidupan.
Oleh karena itu, diperlukan kearifan manusia untuk bersikap rendah hati dalam
memahami esensi kebenaran dan etika dalam kehidupan ini.
Dapat
dijelaskan dalam menelaah fakta dan kebenaran yang ada di kitab suci maupun
yang Nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan kearifan dan etika
dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia yang mencoba
menginterpretasi hukumTuhan maupun hokum alam akan memberikan kesimpulan atas
kebenaran yang ada dapat lebih dipertanggungjawabkan dalam konteks sains maupun
dalam konteks religi.
Ketika pada
abad ke 17 dan ke 18 muncul pemahaman “pencerahan” di Eropa sebagai sikap
penentang terhadap segala bentuk tradisi dan dogma, hal ini dianggap sebagai
bentuk kesadaran akan hakekat manusia sebagai individu yang mempunyai akal
budi. Zaman pencerahan ini membawa manusia semakin maju kea rah rasionalitas
dan kesempurnaan moral (Suseno. 1992).
Dengan
pemahaman rasionalitas, ilmu pengetahuan telah tumbuh berkembang dan
mendasarkan pada kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi menurut ilmu
ukur. Dengan demikian manusia semakin bersikap rasional dalam memandang alam
semesta. Gerakan-gerakan yang terjadi di alam, misalnya tidak lagi diyakini
sebagai disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakan dan berada dibelakangnya.
Pergerakan itu diyakini terjadi didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu
sendiri yang dikenal sebagai hukum alam.
Etika dalam
interpretasi dan implementasi hokum alam, dalam hal ini sains merupakan bahasan
yang lebih rumit karena ha ini menyangkut hakekat penguasaan penentuan
kehidupan maupun hal lain terkait dengan proses penciptaan, diperlukan
pembelajaran etika, terutama dari kalangan saintis untuk terus melakukan
observasi dan eksplorasi alam semesta ini.
Dalam sudut
pandang yang sama, penguatan eksistensi agama di dunia seharusnya juga
dilakukan dengan lebih membuka diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah rahmat Tuhan sebagai hasil
dari dibekalinya manusia dengan akal budi. Pemahaman yang lebih baik mengenai
sains dan rasionalitas akan membuat para agamawan menjadi manusia yang juga
akan sangat arif dalam menyikapi perintah Tuhan dalam menata kehidupan beragama
manusia di dunia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
paparan berikut penulis akan mencoba membahas diskusi pertentangan agama dan
sains ini dalam sub bahasan sebagai berikut :
1. Terdapat
landasan bgi manusia untuk melakukan eksplorasi alam semesta.
2. Etika
sains harus dibahas dari segala segi, baik dari sudut pandang ilmu pengetahuan,
agama, maupun untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
3. Manusia
diberi akal untuk dipergunakan melihat “kebenaran” yang ada di alam semesta
ini, oleh karena itu kalangan agamawan juga seharusnya memaksimalkan penggunaan
akal budi untuk mempelajari sains.
Elaborasi
dari topic bahasan tersebut adalah sebagaimana penulis paparkan dalam bagian
berikut.
A. Hakekat
Mempelajari Sains
Tuhan
mempersilahkan manusia untuk memikirkan alam semesta berikut isinya dan segala
konteksnya, kecuali jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran
manusia tdak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah sebagaimana tercantum
dalam sebuah hadits Nabi : “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan
Dzat Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
Bahkan dalam
QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman : “Hai jama’ah jin dan manusia, jika
kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah,
kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.
Menurut
hemat penulis, apa yang disabdakan Nabi dan yang difirmankan Tuhan ini
memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi
terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai
suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga
demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis adalah
kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini. Ilmu
pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam
segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan serta kekayaan informasi
akan membuat seseorang lebih cenderung kepada objektivitas, kebenaran dan
realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran
dalam berbagai bentuk.
Orang yang
berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah, ilmu manfaatnya tidak terbatas,
bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi ia membias ke orang lain yang
mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sementra itu, ibadah
manfaatnya terbatas hanya pada sipelakunya.
Ilmu dan
pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang
memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi pahala yang
diberikan pada peribadahan seseorang, akan segera berakhir dengan berakhirnya
pelaksanaan dan kegiatan ibadah tersebut.
B. Kloning,
Sebuah Pembelajaran Tentang Perdebatan Etika Sains
Contoh kasus
yang selalu menjadi menarik karena melibatkan perdebatan kaum ilmuwan dan
agamawan adalah masalah kloning. Pada tahun 1997, keberhasilan proses kloning
yang menghasilkan domba Dolly menjadi perhatian utama dunia ilmu pengetahuan.
Keberhasilan ini memicu diskusi yang tidak pernah selesai mengenai eksistensi keilmuan
di satu sisi dengan etika keagamaan di sisi lainnya. Teknik kloning ini terus
berkembang secara cepat, dan dapat diterapkan tidak saja pada sel embrio,
tetapi juga dapat diterapkan pada sel dewasa.
Dengan kata
lain, manusia telah mampu menciptakan suatu sel hidup sama seperti kita membuat
foto copy dokumen dengan mesin foto copy. Persoalannya adalah debat dan diskusi
yang muncul harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah semua hal yang
bisa dilakukan memang patut dilakukan?”. Dari sisi kemanusiaan misalnya,
kloning manusia boleh jadi akan menjadi penyelamat bagi pasangan-pasangan tidak
subur untuk memperoleh keturunan langsung. Sebaiknya bagi para etikawan dan
agamawan, memegang teguh sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak
semua yang bias dilakukan patut dilakukan.
Pada dewasa
ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus sekalipun ditengah
derasnya kritik dan kecemasan atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama “yang
bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan dengan semangat
teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya
menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya.
Ketika
masalah kloning dibahas di PBB, Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara
yang abstain dalam pemungutan suara atas draf deklarasi majelis umum PBB pada 8
Maret 2005, yang berisi semua larangan bagi semua bentuk kloning manusia,
termasuk kloning untuk keperluan medis. Sebanyak 84 negara mendukung deklarasi
tersebut, sedangkan 34 negara menentang. Alasan Indonesia untuk bersikap
abstain adalah karena masalah kloning tidak dapat diputuskan dengan cara
pemungutan suara, harus dilakukan musyawarah dengan memandang berbagai latar
belakang dan sudut pandang, termasuk agama.
Kasus kloning
akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan dengan kalangan agamawan
dan etikawan, dan masing-masing akan tetap berpegang pada sudut pandangnya.
Jalan tengah yang perlu dibuat adalah kesepakatan logis bahwa seyogyanya
agamawan tidak mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan
etika, diperlukan kearifan dan etika untuk memahami dan menginterpretasikan
“ijin Tuhan” untuk melakukan eksplorasi alam semesta ini. Kasus kloning
merupakan ujian atas bagaimana kalangan agamawan dan ilmuwan harus bersikap
satu sama lain. Kasus kloning adalah kasus yang ada dipermukaan bumi, sehingga
akan lebih mudah diinterpretasi dan dicerna untuk disikapi. Bagaimana dengan
kasus yang “tidak kasat mata”? Kasus perbedaan interpretasi antara kalangan agamis
dan saintis di bawah ini mencoba mendeskripsikan perbedaan pandangan tersebut.
C. Kasus
Pertentangan Saintis dan Agamawan
Kasus
pengucilan Galileo oleh Gereja Katolik merupakan contoh nyata betapa agama
diinterpretasikan tidak dengan tepat dalam hal pencarian kebenaran, sekalipun
Gereja Katolik merehabilitasi kesalahan tersebut 500 tahun kemudian, peristiwa
tersebut tetap saja menjadi acuan betapa agama selalu ketinggalan dibandingkan
dengan sains.
Galileo
Galilei (15 Februari 1564 – 8 Januari 1642) adalah seorang astronom, filsuf dan
fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah, ia diajukan
ke pengadilan Gereja Italia pada 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari
sebagai pusat tata surya bertentangan dengan keyakinan Gereja bahwa bumi adalah
pusat alam semesta, pemikirannya ini menyebabkan Dinas Suci Inkuisi gereja
Katolik mengucilannya. Otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin
menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua itu
terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik sastra ini
menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran
besar yang akan merusak akidah umat.
Pandangan
kosmologis yang dinggap “kafir” ini, yang juga dikenal sebagai sistem
Heliosentris sebenarnya sudah dipikirkan oleh manusia sejak lebih dari 2.000
tahun yang silam. Karena ajaran Aristoteles dan kitab Suci Injil yang
mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolomeus, sistem Heliosentris
ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos ini kemudian muncul
kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473 –
1543). Pandangan ini kemudian dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571 -1630) yang
mengajukan sejumlah hokum gerak dan orbit benda-benda langit (Arsuka. 2004).
Gaileo
mencoba menandaskan kebenaran sistem Heliosentris dengan menggunakan teorinya
sendiri yang ia anggap lebih kuat. Galileo berpendapat bahwa bumi bergerak
mengintari matahari dan bahwa sistemm kopernikan “lebih mendekati kenyataan
daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori
Heliosentris Kopernikus member penjelasan sederhana atas gerak-gerak planet
yang telah membingungkan kaum cerdik cendekia, sambil menata ulang susunan
planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem Heliosentris menawarkan diri
sebagai sistem yang lebih masuk akal dibandingkan dengan sistem tradisional
Geosentris.
Saling
menggugat pandangan religious klasik atas posisi manusia di alam semesta yang
menganggap bahwa bumi adalah pusat jagat raya, dan vatikan adalah pusat dunia,
sistem Heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika
yang dipahami pada waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi
manusia yang dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan
terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada
persimpangan abad ke-16 dan ke-17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam
pemikiran Aristotelian, dalam faham fisika Aristoteles, benda-benda selalu
bergerak menujun tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami
benda-benda yang berbobot adalah pada pusat alam semesta, dan itu pula sebabnya
maka bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni dipusat alam semesta itu.
Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti manampik fisika Aristoteles dan
membuang sistem geosentris Ptolomeus, itu juga berarti membantah kitab suci
Injil yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak pada tempatnya. “Oh,
Thanku, kau-lah yang Maha Besar …kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada
bergerak untuk selamanya.” (Mazmur 103:1,5).
Konflik
Galileo Galilei dengan Gereja Katolik Roma adalah sebuah contoh awal konflik
antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir pada masyarakat barat. Sejarah
pertentangan Galileo dengan Gereja seringkali hanya ditafsirkan sebatas
ketertutupan agama terhadap sains. Padahal inti persoalannya adalah pertanyaan
tentang kebenaran. Apakah sains memberi landasan bagi kita memperoleh kepastian
mengenai dunia? Apakah sains bisa membawa kita untuk sampai pada kebenaran?
Hokum agama kerapkali diterapkan dalam kehidupan manusia secara harafiah,
sehingga penerapan tulisan dalam kitab suci mampu mengesampingkan argument ilmu
pengetahuan sebagaimana terjadi dengan Galileo Galilei.
Sebuah kasus
menarik lainnya adalah menyangkut bagaimana sebuah ayat di Al Quran
dinterpretasi secara sangat berbeda oleh kalangan agama (dalam hal ini
Departemen Agama RI), dan oleh seorang ahli matematika dan fisika dari mesir.
Ayat tersebut dalah QS As Sajdah Ayat 5: “Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Catatan kaki
pada terjemahan versi Departemen Agama RI:” maksud urusan itu naik kepadaNya
ialah beritanya yang dibawah oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi
kebesaran Allah dan keagungannya,”
Pandangan
agamawan dalam menafsirkan ayat di atas tergambar dari penafsiran yang
dilakukan oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam
catatan kaki pada terjemehan Al Quran versi Departemen Agama RI, bahawa ayat
tersebut hanyalah merupakan tamsil atau perumpamaan semata atas keagungan dan
kebesaran Tuhan.
Contoh
penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama RI ini adalah contoh nyata
betapa penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci belum dilakukan
dengan pendekatan rasionalitas ilmu pengetahuan modern, penafsiran seperti itu
bias di mafhumi karena tentu dilakukan dengan dsar pandangan dogmastis yang
lebih sempit dri sutu otoritis tradisional yang mempunyai keterbatasan
pemahaman sains dan ilmu pengetahuan alam modern seperti matematika, fisika
maupun astronom.
Sementara
itu, Dr. Mansour Hassab Elnaby, seorang ahli matematikadan fisika dari Mesir,
dengan pemahaman fisika dan matematikanya mencoba menginterpretasikan ayat
diatas dari sudut pandang teori fisika, matematika dan astronomi. Mengacu pada
QS As Sajdah Ayat 5, Dr. Mansour menyampaikan bahwa jarak yang dicapai “sang
urusan” selama satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh bulan selama
1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dr. Mansour menyatakan bahwa “sang urusan”
inilah yang diduga sebagai sesuatu “yang berkecepatan cahaya”.
Dr. Mansour
Hassab Elnaby, mengurakan secara jelas dan sistematis tentang cara menghitung
kecepatan cahaya berdasarkan ayat Al Quran diatas. Dalam menghitung menghitung
kecepatan cahaya ini, Dr. Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh
ahli astronomi yaitu sistem siderial. Dengan pendekatan ini Dr. Mansour
membuktikan secara matematis bahwa hubungan “sehari = seribu tahun” membawa
pada hubungan matematika fisika yang menghasilkan angka kecepatan cahaya.
Deskripsi detil mengenai pembuktian dan perhitungan yang dilakukan oleh Dr.
Mansour dapat dilihat dalam lampiran.
Dalam dua
kasus yang penulis paparkan diatas, nampak sangat jelas bahwa perbedaan
pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh ketidakpahaman
kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat penting bagi
para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan melakukan pembelajaran,
tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci, tetapi juga menyangkut
segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam semesta ini.
Apa yang
terjadi pada kasus Galileo maupun kasus rasionalisasi “satu hari= seribu tahun”
tidak terlepas dari faham pendekatan rasionalisme yang diterapkan dalam ilmu
pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu modern telah berkembang berdasarkan prinsip
rasionalitas ini, sebelumnya pemahaman ilmu pengetahuan seperti mandul ketika
semua pengetahuan manusia dijalankan secara dogmatis berdasarkan dalil-dalil
dari ahli-ahli Yunani kuno yang disampaikan oleh Aristoteles, Ptolemaueus, dan
lain-lain, maupun sebagaimana tersurat dalam kitab suci (yang juga
diinterpretasikan secara dogmatis)
BAB III
KESIMPULAN
Pada
kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukan pola pikir sains dengan
agama, terdapat perbedaan cara pikir agama dan sains. Agama memang mengajarkan
untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan, sedangkan sebaliknya dalam sains
skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi acuan untuk terus maju, mencari dan
memecahkan rahasia alam.
Sains
seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang tanpa
memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus memahami bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Semua penganut agama harus
paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi, karena hal ini
memang terbukti melalui pendekatan sains.
Belajar
sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dengan
segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains, kita belajar untuk
rendah hati, oleh karena itu pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk
peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam semesta ini. Dalam
hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab suci agama, tanpa
perlu diperdebatkan atau dikaitkan dengan kaedah sains.
Sains
sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan, namun demikian iman juga
dapat digoyahkan oleh sains seandainya dicampuradukan dengan pemahaman agama.
Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci secara serampangan bias jadi
malah akan memberikan pemahaman yang salah. Bagi para agamawan yang kurang
memahami sains, tindakan ini akan menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains
dengan agama oleh mereka yang tidak atau kurang dibekali agama bisa membuat
kesimpulanyang diambil menjadi konyol dan menggelikan.
Selain para
ilmuwan perlu mempelajari dan mendalami agama, para agamawan seharusnya juga
mempelajari ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian tidak terjadi benturan yang
terlalu besar, atau jarak yang terlalu lebar, yang memisahkan kedu prinsip dan
sudut pandang antara sains dan agama.
Penulis
setuju dengan paparan dan bahasan F. Budi Hardiman dalam “sains dan pencarian
makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama” bahwa, agama dan sains
memang menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
No comments:
Post a Comment